Persatuan Guru Agama Islam (PGAI): Sejarah, Perjuangan, dan Warisan Pendidikan Islam di Padang

Persatuan Guru Agama Islam (PGAI): Sejarah, Perjuangan, dan Warisan Pendidikan Islam di Padang

Redaksi

Padang.SumbarMaju.com - Persatuan Guru Agama Islam (PGAI) merupakan salah satu organisasi pendidikan Islam tertua dan paling berpengaruh di Sumatera Barat. Organisasi ini berdiri pada tahun 1918 di Kota Padang, pada masa penjajahan Belanda, sebagai respons atas kebutuhan mendesak akan persatuan para guru dan ulama dalam menghadapi tantangan pendidikan, sosial, dan keagamaan umat Islam. PGAI lahir bukan hanya sebagai wadah organisasi, tetapi juga sebagai gerakan intelektual dan pendidikan yang berorientasi pada kemajuan umat.

PGAI didirikan oleh seorang ulama besar Minangkabau, Dr. H. Abdullah Ahmad, bersama sejumlah ulama dan guru agama Islam lainnya.


 Abdullah Ahmad lahir di Padang Panjang pada tahun 1878 dan wafat di Padang pada tahun 1933. Ia dikenal sebagai ulama pembaru (reformis) yang memiliki pemikiran maju, luas wawasan keislamannya, serta kepedulian yang tinggi terhadap pendidikan dan persatuan umat. Peran besarnya menjadikan ia salah satu tokoh sentral dalam sejarah pembaruan Islam di Sumatera Barat.

Sejak kecil, Abdullah Ahmad telah memperoleh pendidikan agama dari ayahnya, Haji Ahmad, seorang ulama sekaligus pedagang Minangkabau. Ia kemudian menempuh pendidikan formal di sekolah pemerintah sebelum berangkat ke Mekkah pada tahun 1895 untuk memperdalam ilmu agama. Selama empat tahun di Tanah Suci, Abdullah Ahmad berinteraksi dengan ulama dari berbagai negara dan menyerap gagasan-gagasan pembaruan Islam yang berkembang di Timur Tengah. Ia kembali ke Indonesia pada tahun 1899 dengan semangat dakwah dan pendidikan yang kuat.


Sekembalinya dari Mekkah, Abdullah Ahmad mulai mengajar dan berdakwah di Padang Panjang. Ia aktif menyerukan pemurnian ajaran Islam serta mengkritisi praktik-praktik keagamaan yang dianggap menyimpang dari Al-Qur’an dan Sunnah. Selain berdakwah secara langsung, ia juga memanfaatkan media cetak sebagai sarana penyebaran pemikiran pembaruan dengan menjadi agen dan penulis di berbagai majalah Islam, seperti Al-Imam di Singapura dan Al-Ittihad dari Kairo.


Pada tahun 1906, Abdullah Ahmad pindah ke Padang untuk melanjutkan tugas mengajar menggantikan pamannya yang wafat. Di kota inilah kiprahnya semakin berkembang. Ia rutin mengadakan tabligh, diskusi keagamaan, serta pengajian bagi orang dewasa yang dilaksanakan secara bergiliran dari rumah ke rumah. Melihat rendahnya akses pendidikan bagi anak-anak Muslim, khususnya dari kalangan pedagang, Abdullah Ahmad kemudian mendirikan Sekolah Adabiyah pada tahun 1909.


Sekolah Adabiyah menjadi salah satu tonggak penting pendidikan Islam modern di Sumatera Barat. Lembaga ini memadukan pendidikan agama dengan ilmu pengetahuan umum dan dikelola dengan sistem yang lebih teratur. Selain sebagai pendidik, Abdullah Ahmad juga aktif di dunia pers.


 Pada tanggal 1 April 1911, ia mendirikan majalah Al-Munir, majalah Islam modern pertama di Indonesia yang terbit di Padang dan beredar luas hingga ke berbagai wilayah Nusantara dan Malaysia.

Melalui majalah Al-Munir, Abdullah Ahmad bersama tokoh-tokoh ulama seperti H. Abdul Karim Amrullah, Muhammad Thaib Umar, dan Muhammad Jamil Jambek menyebarkan gagasan-gagasan pembaruan Islam. Rubrik tanya jawab agama dalam majalah ini banyak membahas persoalan-persoalan aktual yang saat itu menjadi perdebatan di tengah masyarakat, seperti bid’ah, adat keagamaan, serta sikap Islam terhadap modernitas. Karena peran besarnya, Abdullah Ahmad kemudian dikenal dengan sebutan H. Abdullah Al-Munir.



Kesadaran akan pentingnya persatuan para guru dan ulama Islam dalam membina umat mendorong Abdullah Ahmad untuk mendirikan Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) pada tahun 1918. Organisasi ini bertujuan menjadi wadah persatuan guru agama Islam serta menjembatani perbedaan antara Kaum Tua dan Kaum Muda demi kemajuan pendidikan dan dakwah Islam. PGAI secara resmi memperoleh pengakuan hukum dari pemerintah kolonial Belanda pada 17 Juli 1920.

Di bawah kepemimpinan H.


 Abdullah Ahmad, PGAI berkembang menjadi organisasi yang tidak hanya bergerak dalam bidang keorganisasian, tetapi juga sosial dan pendidikan. Salah satu pencapaian penting PGAI adalah pendirian asrama anak yatim pada tahun 1930, yang kemudian juga difungsikan sebagai tempat belajar Madrasah Normal Islam (Kulliyyah al-Mu’allimin al-Islamiyyah). Madrasah ini dikenal sebagai sekolah guru Islam pertama yang memiliki fasilitas pendidikan modern setara sekolah Belanda pada masa itu.


Madrasah Normal Islam PGAI mendapat sambutan luas dari masyarakat dan berhasil mencetak banyak tenaga pendidik Islam.


 Sejak berdiri hingga ditutup pada tahun 1946 akibat kondisi politik dan keterbatasan dana pasca-kemerdekaan, madrasah ini telah mendidik lebih dari seribu siswa. Salah satu alumninya yang terkenal adalah KH. Imam Zarkasyi, pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo.


Hingga kini, PGAI tetap eksis dan melanjutkan warisan perjuangannya di bidang pendidikan. Di bawah naungan yayasan, PGAI mengelola berbagai lembaga pendidikan formal mulai dari TK, SD, SMP, MTs, MA, hingga SMA, serta Panti Asuhan Yatim PGAI, yang dikenal sebagai panti asuhan tertua di Sumatera Barat. Selain itu, di kawasan PGAI juga berdiri STAIPIQ (Sekolah Tinggi Agama Islam dan Pendidikan Ilmu Al-Qur’an) Sumatera Barat, sebagai simbol kesinambungan cita-cita pendidikan Islam.


Sebagai organisasi bersejarah, PGAI merupakan aset umat Islam yang sangat berharga. Tantangan ke depan menuntut adanya evaluasi dan penguatan tata kelola organisasi agar seluruh potensi dan aset PGAI dapat dimanfaatkan secara maksimal. Dengan semangat persatuan dan pembaruan sebagaimana dicontohkan oleh para pendirinya, PGAI diharapkan terus menjadi pilar penting dalam pembangunan pendidikan Islam di Sumatera Barat dan Indonesia secara umum.(Yef)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar