Sumbarmaju.com, Solok – Manajemen Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Mohammad Natsir Solok meluruskan tudingan yang menyebut pihaknya lalai dalam penanganan seorang balita berusia 1 tahun 2 bulan yang meninggal dunia usai mendapat suntikan antibiotik.
“Terkait pemberitaan di salah satu media online yang menyatakan pasien meninggal setelah diberi antibiotik, kami nyatakan tidak benar. Informasi tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan,” tegas Direktur RSUD M. Natsir, dr. Elvi Fitraneti, Senin (14/07/2025).
Ia menegaskan bahwa seluruh tindakan medis yang dilakukan terhadap pasien telah sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang berlaku di rumah sakit.
Senada dengan itu, Wakil Direktur Pelayanan RSUD M. Natsir, dr. Sulistiana Dewi, juga menjelaskan bahwa pihaknya telah melakukan mediasi dengan keluarga pasien. Ia memastikan bahwa proses penanganan medis telah dilakukan sesuai prosedur.
“Kami telah bertemu dengan keluarga korban dan menjelaskan bahwa seluruh tindakan sudah mengacu pada SOP. Namun kami akui, memang ada kekurangan dalam hal penggunaan tanda pengenal oleh petugas,” ujarnya.
Menurutnya, kekeliruan ini membuat keluarga pasien kesulitan membedakan mana dokter dan mana perawat saat proses perawatan berlangsung. “Ini akan kami evaluasi dan perbaiki ke depan,” tambahnya.
Tragedi Duka di Simpang Rumbio
Sebelumnya, duka mendalam menyelimuti pasangan muda Nurbaiti dan Satria Fernando, warga Simpang Rumbio, Kota Solok, atas kepergian buah hati mereka, ZAN, yang baru berusia 1 tahun 2 bulan.
Pihak RSUD M. Natsir juga menyampaikan bahwa dokter selalu hadir selama proses perawatan, dan seluruh prosedur medis telah dijelaskan kepada pihak keluarga sejak awal hingga akhir.
Kisah bermula pada Rabu malam (9/7/2025), ketika ZAN mengalami demam tinggi dan kejang (step) sekitar pukul 21.00 WIB. Nurbaiti sempat memberikan paracetamol, namun panas tubuh sang anak tak kunjung turun. Sekitar pukul 02.00 WIB, kejang kembali terjadi, hingga akhirnya ZAN dilarikan ke RSUD M. Natsir.
“Sesampainya di UGD, anak kami langsung dipasang infus, diberi oksigen dan obat. Saat itu saya sedikit lega karena langsung ditangani,” ujar Nurbaiti.
Namun, keesokan paginya, sekitar pukul 09.00 WIB, ZAN kembali mengalami kejang hebat. Nurbaiti mengaku panik dan berteriak meminta bantuan medis, namun merasa respons yang diberikan petugas tidak sesuai harapan.
Sekitar pukul 11.00 WIB, ZAN mendapat suntikan melalui infus, lalu dipindahkan ke Ruang Anak. Nurbaiti menandatangani surat persetujuan tindakan medis dan diberitahu bahwa anaknya akan ditangani oleh dr. Cindi, yang baru dijadwalkan hadir pukul 14.00 WIB.
“Saya menangis, bertanya bagaimana kondisi anak saya yang terus kejang-kejang. Tapi hanya dijawab, ‘Tunggu Bu, dokter akan segera datang,’” ujarnya.
“Beberapa orang datang, tapi hanya melihat dan memfoto anak saya. Saya tanya, kenapa tidak segera ditangani, mereka hanya jawab, ‘Biasa itu Bu, karena panas tinggi,’” ucapnya dengan mata sembab.
Sekitar pukul 11.00 WIB, ZAN mendapat suntikan melalui infus, lalu dipindahkan ke Ruang Anak. Nurbaiti menandatangani surat persetujuan tindakan medis dan diberitahu bahwa anaknya akan ditangani oleh dr. Cindi, yang baru dijadwalkan hadir pukul 14.00 WIB.
“Saya menangis, bertanya bagaimana kondisi anak saya yang terus kejang-kejang. Tapi hanya dijawab, ‘Tunggu Bu, dokter akan segera datang,’” ujarnya.
Setelah dr. Cindi datang dan memberikan tindakan lanjutan, termasuk pemberian obat melalui infus dan kapsul lewat anus, kondisi ZAN memburuk. Muncul bintik merah di sekujur tubuhnya. Tak lama setelah itu, antibiotik diberikan melalui infus. Menurut Nurbaiti, kondisi anaknya memburuk drastis setelah pemberian antibiotik tersebut.
“Bintik merah semakin banyak dan menyebar. Saya lapor, tapi anak saya hanya difoto-foto. Tak ada tindakan penyelamatan. Sampai akhirnya dia meninggal,” tangis Nurbaiti.
Kasus ini kini menjadi sorotan publik, dan pihak rumah sakit telah menyatakan siap memberikan penjelasan kepada pihak berwenang bila dibutuhkan. (Dioni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar