Dari Lumpur Sawah ke Mimbar Nasional, Kisah Hidup Nofri Sumantri.S.Pdi.Gr.

Dari Lumpur Sawah ke Mimbar Nasional, Kisah Hidup Nofri Sumantri.S.Pdi.Gr.

Redaksi

SumbarMaju.Com/21 Nivember 2025.- Anak Lumpur yang Menolak Menyerahkan Di sebuah dusun kecil di kaki Bukit Barisan, Tanjuang Bungo, Kabupaten Lima Puluh Kota, lahir seorang anak laki-laki dari keluarga petani sederhana. Ia bernama Nofri Sumantri, anak yang tumbuh di tengah keterbatasan tetapi menyimpan tekad besar—setinggi bukit-bukit yang mengitari kampungnya.

Setiap Minggu pagi, sebelum matahari membuka mata sepenuhnya, Nofri turun ke sawah berlumpur untuk menangkap belut demi menambah biaya sekolah. Bau lumpur yang menempel di tubuhnya membuat ia dijuluki teman-temannya sebagai “Apak Baluik”—sebuah ejekan yang di kemudian hari berubah menjadi identitas perjuangan.


Dari lampu minyak yang temaram, dari kaki yang sering terluka karena ganco, dari buku-buku lusuh yang ia peluk seperti harta karun, Nofri mulai menuliskan takdirnya sendiri. Kisah hidupnya adalah perjalanan panjang tentang pendidikan, iman, dan keberanian menghadapi kemiskinan dengan kepala tegak.


AKAR MASA KECIL — Belajar dari Sawah dan Kesunyian, Tanjuang Bungo adalah nagari yang sunyi dan damai, dikelilingi sawah hijau dan hamparan bukit. Ayahnya bekerja dari pagi hingga senja, sementara ibunya menenun kain untuk membantu ekonomi keluarga. Dalam hidup yang serba kekurangan itu, Nofri kecil tak banyak meminta. Ia hanya ingin dua benda sederhana: buku dan sebatang pensil.


Bersama teman-temannya—Deni, Izel, Hendra, Azir, dan Hengki—ia menjalani rutinitas yang kelak membentuk karakter bajanya: menangkap belut di sawah setiap Minggu pagi, menjualnya ke pasar, dan menabung untuk kebutuhan sekolah. Setiap ekor belut adalah langkah kecil yang mendekatkannya pada impian.


Namun hidup tidak selalu ramah. Di lingkungan keluarga besarnya, ia sering menjadi bahan cibiran hanya karena miskin. “Kau bau belut!” ejek sepupunya. Tapi Nofri memilih menahan senyum, menyimpan luka itu dalam hati, lalu berjanji pada dirinya sendiri:

“Suatu hari nanti, aku akan membuktikan bahwa bau belut ini bisa berubah menjadi harum prestasi.”


Di SDN 01 Tanjuang Bungo, ia tumbuh menjadi murid berprestasi. Ia bukan hanya juara kelas, tetapi juga sering diminta menjadi tutor sebaya. Sejak kecil ia memahami: pendidikan adalah pintu keluar dari kemiskinan.


MASA REMAJA — Mimpi yang Tak Pernah Padam


Tahun 1988, Nofri melanjutkan pendidikan di MTsN Limbanang. Di sana ia menjuarai lomba matematika tingkat kabupaten. Cinta terhadap angka membuatnya bermimpi menjadi dosen matematika.


Namun kehidupan mengajarinya kesabaran. Seragam semakin lusuh, biaya semakin berat, dan pendapatan orang tua tak menentu. Nofri memperpanjang jam menangkap belut—bahkan hingga malam setelah Isya. Ia juga mengajar mengaji anak-anak di mushalla.


Di bawah cahaya lampu minyak yang redup, ia menghafal pelajaran dan ayat-ayat Al-Qur’an. Ia tahu benar: hanya ketekunan yang bisa menaklukkan kemiskinan.


Tahun 1991, ia lulus dengan nilai terbaik dan diterima di MAN Padang Japang, sekolah bergengsi kala itu. Biaya masuk yang tinggi hampir memadamkan mimpi itu, tetapi Allah membuka jalan:

beasiswa anak asuh dari Yayasan Pusako Group dan Dharmawanita Lima Puluh Kota menanggung seluruh biayanya.


Sejak itu, Nofri berjanji:

“Aku belajar bukan hanya untuk diriku, tetapi untuk semua yang berjuang dalam diam.”


MAN PADANG JAPANG — Menjadi Suara bagi Mereka yang Tak Didengar


Di MAN, Nofri tumbuh menjadi pelajar yang cerdas sekaligus peduli. Ia memperjuangkan subsidi buku untuk siswa kurang mampu, aktif berorganisasi, dan dikenal sebagai siswa disiplin dengan pendirian kuat.


Seorang gurunya pernah berkata,

“Nofri bukan hanya pintar, ia punya hati yang kuat.”


Di sekolah inilah ia memahami Islam sebagai nilai keadilan dan keberpihakan. Cita-citanya perlahan berubah. Ia tidak lagi hanya ingin menjadi dosen matematika—ia ingin menjadi pendidik kehidupan.


Lulus tahun 1994, ia diterima melalui jalur PMDK di STAIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi. Perjuangannya memasuki babak baru.


PERGULATAN DI PERGURUAN TINGGI — Tetap Sederhana, Tetap Teguh


Masa kuliah membuka babak lain yang tak kalah berat. Ia tinggal di kos sederhana, makan sehemat mungkin, dan pulang kampung saat libur untuk membantu orang tua menangkap belut.


Meski hidup serba pas-pasan, ia aktif berorganisasi dan mengikuti berbagai kegiatan kampus. Pengalaman hidup membuat karismanya terbentuk—keras ditempa kehidupan, namun tetap rendah hati.


Ia selalu mengatakan,

“Kemiskinan bukan aib. Aib itu ketika kita menyerah.”


Tahun 1999, ia lulus dari Fakultas Syariah dengan IPK 3,40, menjadi salah satu wisudawan terbaik.


ANTARA CITA-CITA DAN TAKDIR


Setelah lulus, mimpi menjadi dosen terasa makin jauh. Lowongan tidak ada, sementara kebutuhan hidup mendesak. Nofri akhirnya bekerja di sektor swasta sebagai administrasi, personalia, keuangan, hingga sekretaris direktur. Semua ia jalani sambil menabung untuk kembali ke dunia pendidikan.


Tahun 2006, ia menempuh Akta IV di STIT Kota Payakumbuh dan lulus dengan IPK 3,90. Pada 2010, ia resmi diterima sebagai Guru Pendidikan Agama Islam di Kabupaten Solok.


Ia selalu berkata,

“Anak-anak SD adalah fondasi bangsa. Jika kebaikan ditanam sejak kecil, negara ini akan baik.”


MENJADI GURU — Mengajar dengan Hati dan Keteladanan


Pengalaman hidup menjadikan Nofri guru yang berbeda. Ia mengajak siswanya belajar di sawah, di sungai, di masjid—mengajarkan agama melalui kehidupan nyata, bukan hanya dari buku.


Prestasinya kemudian melesat:


Juara 3 Nasional Pelatihan K13 (2016)


10 Instruktur Terbaik Nasional (Bandar Lampung, 2018)


30 Instruktur Nasional Terpilih (Tangerang, 2018)


Dikukuhkan sebagai Instruktur Nasional Kemenag RI (2018)


Dari anak yang diejek “Apak Baluik”, ia kini berdiri di mimbar-mimbar pelatihan di seluruh Indonesia.


GURU PENGGERAK — Dari Daerah ke Pentas Nasional


Nofri tidak pernah berhenti belajar. Ia menyelesaikan puluhan pelatihan di Platform Merdeka Mengajar dan lulus sebagai Guru Penggerak dengan predikat Amat Baik.


Undangan sebagai narasumber datang dari banyak daerah: Solok, Sijunjung, Bukittinggi, Lima Puluh Kota, Pasaman Barat, Agam, Padang Pariaman, dan lainnya.


Setiap kali memulai sesi, ia selalu berkata:


“Saya dulu dijuluki Apak Baluik. Tapi dari lumpur itulah saya belajar untuk tidak menyerah.”


MEMBANGUN JARINGAN — Dari Guru Individu Menjadi Penggerak Sistem


Selain mengajar, Nofri aktif membangun jejaring pendidikan melalui berbagai organisasi:


Dewan Pakar/Narasumber Nasional DPW AGPAII Sumbar


Koordinator Bidang Kurikulum DPD AGPAII Solok


Sekretaris Jenderal KKG PAI Kabupaten Solok


Ketua Umum KKG PAI Kecamatan Hiliran Gumanti


Baginya, memajukan pendidikan tidak cukup dilakukan di kelas—perlu gerakan yang sistemik dan kolaboratif.


FILSAFAT HIDUP — Lima Pegangan Seorang Pejuang


Rahasia keteguhan Nofri dirangkum dalam lima prinsip hidup:


1. Tidak iri pada harta orang lain


2. Tidak membebani orang tua


3. Mengatur waktu dengan disiplin


4. Berteman tanpa memandang status sosial


5. Menjadikan ejekan sebagai bahan bakar perjuangan


“Allah tidak menilai berapa banyak harta kita, tetapi seberapa ikhlas kita berjuang.


WARISAN PERJUANGAN — Untuk Mereka yang Pernah Merasa Kecil


Kini, di usia 50 tahun (2025), Nofri Sumantri menjadi lebih dari sekadar guru. Ia adalah mentor, instruktur nasional, dan inspirasi bagi ribuan guru di Sumatera Barat dan di luar daerah.


Ia bahkan membangun komunitas “Apak Baluik”, sebuah gerakan yang berfokus pada pendidikan anak-anak kurang mampu.


Pesannya sederhana namun dalam:

“Kemiskinan bukan akhir. Ia adalah halaman pertama perjuangan.”


Dalam satu kesempatan, ia menulis surat untuk dirinya sendiri saat kecil:


“Terima kasih, Nak. Karena kau tidak menyerah, hari ini aku bisa mengajar bukan hanya di kelas, tetapi di seluruh Indonesia.”


Dan untuk siapa pun yang membaca kisahnya, ia menitipkan pesan yang menjadi napas hidupnya:


“Jangan takut bau lumpur. Dari lumpur, teratai tumbuh paling indah.” ( Yef  )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar